Selasa, 17 April 2012



8:32 PMaris Pradipta
Pusing terlalu banyak tugas justru mendorong gue untuk menjelajah dunia maya. Gue pikir dengan take a rest sebentar gue bisa lebih fresh ngerjain tugas nanti? Atau malah justru kerjaan gue tidak akan pernah selesai? Padahal dua minggu lagi tugas harus sudah di tangan dosen. Gue belum selesai ngitung, belum juga nggambarnya, belum ini, belum itu. Aaarrrgggh... persetan.
Gue baru saja mendapat tulisan bagus dari blog-blog orang waktu gue lagi blog-walkin', tentang Deret Fibonacci. Kata orang deret angka yang ditemukan oleh Fibonacci ini adalah deret angka istimewa yang akan menghasilkan nilai tertentu yang disebut Proporsi Agung atau Angka Tuhan.

Untuk para mahasiswa Matematika mungkin deret ini sudah tidak asing lagi. Namun buat gue sebagai orang Teknik Sipil mungkin agak jarang mendengar dan menggunakannya. Jadi mungkin gue bisa mulai mengaplikasikannya dalam penelitian gue suatu hari nanti.
Gue akan bercerita dahulu mengenai sejarah Fibonacci sendiri. Deret Fibonacci ditemukan oleh Leonardi Pisano atau lebih dikenal dengan sebutan Leonardo Fibonacci (diturunkan dari Filius Bonaccio atau anak dari Bonaccio, sebutan bagi ayahnya yang bernama asli Guglielmo), pada abad 12 di Italia. Pada dasarnya deret fibonacci merupakan barisan bilangan sederhana dimulai dari 0 dan 1 dan suku berikutnya merupakan jumlah dua bilangan sebelumnya. Deret fibonacci bersifat rekursif karena menggunakan suku dalam deret tersebut untuk menghitung suku setelahnya. Dengan pengertian tersebut, maka suku-suku pada deret fibonacci adalah:

0 1 1 2 3 5 8 13 21 34 55 89 144 dan seterusnya.

Rasio dari sepasang suku berurutan dalam deret fibonacci akan konvergen ke sebuah bilangan irasional 1,618 atau bilangan phi (Φ). Phi, merupakan sebuah konstanta irasional yang bernilai 1,61803399… yang di dapat dari kenvergensi rasio suku dalam deret fibonacci terhadap suku sbelumnya. Dalam deret fibonacci, sebuah suku adalah penjumlahan dua suku sebelumnya. Diketahui rasio dari dua buah suku berurutan konvergen ke suatu nilai, anggap nilai itu variabel p. Maka pada urutan suku yang sangat besar, misalkan 3 suku berurutan dilambangkan sebagai a,b, dan c, maka berlaku:

c/b = b/a = p; dengan c = a+b

–> (a+b)/b = b/a ;

–> a^2+ab = b^2;

–> a^2+ab-b^2 = 0 ; pers. kuadrat

–> maka didapat a/b= (1+√5)/2 atau a/b= (1-√5)/2

–> jika dihitung, (1+√5)/2 ekivalen dengan 1,618… sedangkan (1-√5)/2 ekivalen dengan 0,618… . Karena a1,618…

Dengan demikian bilangan phi memiliki sifat, sebuah bilangan yang resiproknya merupakan bilangan itu sendiri dikurangi 1. ( 1/phi = phi-1).
Bilangan Phi dikatakan oleh para ahli sebagai divine proportion atau proporsi agung atau dalah istilah yang lebih populer dikenal sebagain golden ratio. Sepertinya Tuhan memasukkan divine proportion ini kedalam ciptaannya untuk membuktikan kebesarannya melalui keindahan alam. Banyak sekali contoh kenampakan golden ratio di alam semesta, mulai dari jari yang kita gunakan untuk mengetik, hingga luar angkasa sana.

Berikut beberapa fakta yang gue temukan mengenai deret Fibonacci.
1. Jumlah Daun pada Bunga (petals)
Mungkin sebagian besar tidak terlalu memperhatikan jumlah daun pada sebuah bunga. Dan bila diamati, ternyata jumlah daun pada bunga itu menganut deret fibonacci. contohnya:
- jumlah daun bunga 3 : bunga lili, iris
- jumlah daun bunga 5 : buttercup (sejenis bunga mangkok)
- jumlah daun bunga 13 : ragwort, corn marigold, cineraria,
- jumlah daun bunga 21 : aster, black-eyed susan, chicory
- jumlah daun bunga 34 : plantain, pyrethrum
- jumlah daun bunga 55,89 : michaelmas daisies, the asteraceae family

Lihat buktinya di gambar ini.

2. Pola Bunga
Pola bunga juga menunjukkan adanya pola fibonacci ini, misalnya pada bunga matahari. Dari titik tengah menuju ke lingkaran yang lebih luar, polanya mengikuti deret fibonacci.
3. Tubuh Manusia

Bila Anda ukur panjang jari Anda, kemudian Anda bandingkan dengan panjang lekuk jari, maka akan ketemu 1.618.

penjelasan :
- Coba bagi tinggi badan Anda dengan jarak pusar ke telapak kaki, maka hasilnya adalah 1.618.
- Bandingkan panjang dari pundak ke ujung jari dengan panjang siku ke ujung jari, maka hasilnya adalah 1.618.
- Bandingkan panjang dari pinggang ke kaki dengan panjang lutut ke kaki, maka hasilnya adalah 1.618
- Semua perbandingan ukuran tubuh manusia adalah 1.618. benarkah? silahkan membuktikannya.
5. Parthenon

Bangunan yang diarsiteki oleh Phidias ini juga menggunakan perbandingan yang berdasarkan angka Phi. 1.618. Nah, mungkin ini  dapat menjadi inspirasi gue untuk membuat sebuah terobosan baru di dunia Teknik Sipil.
Ternyata sangat banyak hal-hal di alam semesta ini yang berhubungan dengan Angka Tuhan ini, hal ini secara tidak langsung dapat menambah keimanan kita. Sekarang dapat dibuktikan bahwa Teori Evolusi semakin terpuruk, tidak ada bukti bahwa alam semesta terjadi dengan sendirinya, melainkan terjadi atas perhitungan Tuhan dengan sangat presisi.
Gue sudah puas sekarang. Dan gue akan melanjutkan lagi pekerjaan gue.
______________________
sumber : http://paperless-media.blogspot.com/2008/11/misteri-angka-tuhan.html

SIDIK JARI TUHAN DAN RELEVANSINYA DALAM KEHIDUPAN KITA

Sekedar perbandingan. Dalam kriminilogi, istilah ini rupanya digunakan untuk menelusuri jejak siapa pelaku sebuah perbuatan. Bedanya, dalam spiritual, istilah ini digunakan untuk menegaskan bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan tak bisa lekang dari pantauan Tuhan. Kalau kriminolog menggunakannya sebagai alat bukti bahwa kitalah pelakunya. Maka spiritualis menggunakannya untuk kita “menangkap” siapa diri kita dalam momen-momen kejadian yang pernah kita lewati itu. Tidak akan pernah bisa kita bersembunyi dari jejak kita sendiri.

Tak ada perbuatan yang tidak diketahui Tuhan. Itulah sebabnya, selalau ada ada Sidik Jari Tuhan dalam setiap momen yang kita lalui dalam kehidupan. Bahwa Tuhan itu terasa hadir atau tidak, tergantung bagaimana kita memaknai setiap momen-momen itu. Dalam Islam, orang-orang yang paham betul sistem kerja Sidik Jari Tuhan ini disebut orang-orang Muhsinin. Mereka tahu betul hukum kerja Sidik Jari Tuhan ini. Bahwa mereka tidak bisa melihat Tuhan itu bukan lagi yang mereka soalkan. Tuhan melihat mereka dan tidak merasa diawasi-Nya, itu yang terpenting.  Karena orang yang ihsan biasanya kesadaran spiritualnya mengawasi dirinya sendiri. Itu hebatnya. Sehingga yang mereka ukir dalam kehidupan adalah Sidik Jari Tuhan berupa kebaikan bagi dunia.

Anda termasuk orang yang seringkali dipuji dan dimuliakan?. Berbahagialah karena Anda memiliki Sidik Jari Tuhan yang, menurut manusia, pantas dimuliakan. Kebaikan Anda telah menjadi sidik jari itu. Dan diri Anda adalah kebaikan itu. Tapi ingatlah, kata Sufi Syeik Athailah As-Sakandari dalam salah satu buku terpopulernya al-Hikam, bahwa ketika orang memuliakan Anda sebenarnya mereka tengah memuji kerapihan cara Tuhan menutupi kelemahan dan kejelekan Anda. Seandainya orang mengetahui kejelekan Anda, tentu saja, mereka tidak akan mau memuliakan Anda. Hanya Tuhanlah yang memuliakan Anda, meski Anda masih menyimpan sejumlah kejelekan yang Anda rahasiakan.

Maka tinggalkanlah Sidik Jari Tuhan dalam setiap peristiwa di mana kita terlibat di dalamnya. Di mana saja, kapan saja. Kita berbuat baik karena Tuhan. Karena Sidik Jari-Nya. Karena ingin dimuliakan-Nya. Bukan karena manusia dan apalagi untuk sekedar dimuliakan manusia.*****

 http://wisnuprayudha.multiply.com/journal/item/14/SIDIK_JARI_TUHAN?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
ALAM KEHIDUPAN KITA


Selasa, 10 April 2012

MENULIS BERITA DENGAN RUMUS 5W+1h




DALAM sebuah perbincangan, kawan saya mengatakan, menulis itu gampang-gampang susah. Susah karena bingung bagaimana harus memulai, bingung tak tahu apa yang akan diceritakan.

Saya pun menyarankan agar ia menggunakan rumus 5W+1H sebagai panduan dalam menulis. Rumus ini mencakup What, Who, When, Where, Why, How. Sebuah rumus penulisan yang berlaku universal dan mencakup hal-hal dasar yang harus dipenuhi untuk kelengkapan sebuah tulisan.

Rumus 5W + 1H ini adalah pedoman dasar penulisan jurnalistik, namun tak salah jika digunakan pula dalam menulis konten blog. Penerapan rumus ini, cukup sederhana, yakni;
  • WHAT menyatakan apa yang ditulis, menentukan tema apa yang ingin ditulis, semisal tentang peristiwa di sekitar tempat tinggal, masalah sosial atau apapun yang menarik perhatian dan layak diketahui orang lain.
  • WHO menyatakan tokoh yang terlibat dalam topik yang ditulis. Bila tokoh itu tak cukup dikenal oleh pembaca, maka kewajiban penulis untuk “memperkenalkan” si tokoh dengan menjelaskan siapa dan apa perannya dalam peristiwa yang ditulis.
  • WHEN menyatakan waktu kejadian dari peristiwa yang diceritakan (WHAT). Jika itu sebuah peristiwa yang terjadi di sekitar tempat tinggal penulis, maka ceritakanlah kapan peristiwa itu terjadi.
  • WHERE menyatakan tempat terjadinya peristiwa. Keterangan tentang tempat ini dapat ditulis secara lengkap, misalnya dengan menyebutkan nama jalan, nama kota atau nama tempat lainnya agar mudah dikenali.
  • Sementara WHY menyatakan mengapa peristiwa itu terjadi. Dalam hal ini, mesti diceritakan apa yang menjadi latar belakang dari peristiwa, bisanya sisi inilah yang menjadi bagian paling menarik dari peristiwa.
  • Kemudian H adalah HOW yang menerangkan bagaimana peristiwa terjadi, paparannya mencakup proses terjadinya peristiwa secara kronologis.
Inilah unsur-unsur dasar yang patut dipenuhi agar tulisan lengkap dan informatif, jangan lupa ketepatan data dalam memenuhi unsur-unsur tulisan itu. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman akibat informasi yang kurang akurat.

Selanjutnya, memperhatikan penggunaan tata bahasa yang baik dan benar, pilihan kata yang tepat, serta memparkan peristiwa secara detail agar tulisan yang dihasilkan informatif. Tambahkan pula data yang relevan agar informasi yang disajikan lebih akurat.

Contoh penerapan Menulis dengan Rumus 5W + 1H ini dapat dibaca pada artikel; arti kata Butta Salewangang ini. Selamat menulis. | **

MENULIS BERITA DENGAN RUMUS 5W+1H

Menulis Itu Gampang : Rumus 5W + 1 H

Aurelius's picture
Menulis Itu Gampang : Rumus 5W + 1 H
Begitu banyak jenis tulisan kalau kita mau menggolong-golongkannya. Ada fiksi dan nonfiksi. Ada berita hardnews dan analisa. Ada pula biografi, esai, artikel, skrip radio dan teve, editorial, weblog, surat cinta dan segudang lainnya. Jangan lupa, ada yang berkaitan dengan bisnis, seperti surat penawaran, minutes meeting, dan ribuan jenis business letter.
Lupakan dulu kategorisasi yang memusingkan kepala. Karena sebagian besar jenis tulisan bisa dikatakan baik dan benar bila memenuhi rumus baku yang sama. Yakni 5W + 1H. Itulah rumus sakti yang menjadi pegangan saya ketika menjadi jurnalis di Bisnis Indonesia, majalah PROSPEK dan terakhir di majalah SWA (ya, profesi awal saya adalah jurnalis, kurang lebih lima tahun saya menjalaninya dengan penuh suka cita).
  Rumus 5W + 1H
Rumus macam apa itu? Sederhana sekali:

W1 = What
W2 = Who
W3 = When
W4 = Where
W5 = Why
H = How

WHAT adalah apa yang akan kita tulis. Tema apa yang ingin kita ungkapkan. Hal apa yang ingin kita tuangkan dalam tulisan. What ini bisa apa saja. Bisa soal “Lumpur Lapindo yang tidak selesai-selesai”, “Situs porno diharamkan dan akan diblokir Pemerintah”, “Bagaimana bisa menjadi kaya, sukses sekaligus mulia?” atau topik yang sedang hot di dunia gosip: “Apakah anak kandung Mayangsari juga anak kandung Bambang Tri?”.
What yang kita tentukan ini akan menjadi dasar untuk 4W lainnya. Mari kita ambil topik mengenai Mayangsari saja. Mumpung masih hangat.
WHO adalah siapa tokoh yang menjadi tokoh utama di WHAT. Dalam studi kasus ini, who-nya minimal bisa tiga tokoh: Mayangsari, Bambang Trihatmodjo, dan sang anak yang baru berusia dua tahun: Khirani Siti Hartina Trihatmodjo. Yang pertama dan kedua sudah amat terkenal. Sosok mereka sudah tertulis di mana-mana.
Meski Who is Mayangsari sudah banyak yang tahu, masih banyak sisi lain yang menarik untuk dieksplorasi. Bahkan kebungkamannya mengenai tes DNA anaknya, menjadikan sosoknya makin layak tulis, sampai-sampai bagaimana ia merayakan ulang tahun anaknya secara diam-diam dan bagaimana ia menjenguk ibunya di rumah sakit dijadikan bahan pemberitaan. Suasananya hati Mayangsari digali dengan baik sehingga makin menegaskan sosoknya dalam menghadapi isu anak kandungnya.
Buat kita, yang tidak perlu jadi wartawan untuk bisa menulis sebaik mereka, Who harus menjadi bagian yang berkaitan dengan What. Kalau kita ketemu Who yang tidak dikenal target pembaca kita, maka kita harus mengupasnya dengan baik sehingga jelas keterkaitannya dengan What.
WHEN adalah waktu kejadian WHAT. Ini yang sering diabaikan oleh banyak penulis pemula. Kapan kejadiannya akan memberi tambahan informasi dan imajinasi pembacanya.
WHERE adalah tempat kejadian WHAT. Meski kelihatannya sepele, tempat kejadian ini punya makna. Ketika Jose Mourinho berkunjung ke Milan tiga hari lalu misalnya, segera merebak isu ia mau pindah ke Inter Milan. Coba kalau ia perginya ke Bali, kemungkinan besar tak akan ada isu itu.
WHY adalah mengapa terjadi WHAT. Ini yang paling menarik karena bisa dikupas dari berbagai sudut. “Permintaan tes DNA keluarga mantan presiden Soeharto terhadap anak Mayangsari” bisa dikupas dari sisi hukum, keluarga maupun pribadi. Bahkan kalau mau diseret jauh hingga ke dunia mistis, misalnya minta diteropong oleh ahli nujum.
HOW adalah bagaimana WHAT terjadi, bagaimana prosesnya, lika-likunya, dan sejenisnya.
Yang jelas, dengan 5W+1H, tulisan kita dari segi kelengkapan informasi – sekali lagi: kelengkapan informasi — tidak akan mengecewakan pembaca kita. Kalau ada yang kecewa itu biasanya karena disebabkan oleh kekurangtepatan kita mengungkap WHY dan HOW-nya di mata pembaca.
Jangan salah faham: rumus ini bukan hanya untuk nulis artikel, esai atau tulisan serius lain. Bahkan surat lamaran kerja, undangan meeting, surat cinta bahkan diskusi pendek-pendek di berbagai milis, rumus ini amat penting untuk menghindari kesalahpahaman dan kekuranglengkapan informasi.
Cukupkah berbekal rumus baku di atas? Tidak. Bagi mereka yang ingin menulis dan mendapat respon pembacanya, ada satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya dari rumus 5W+1H. Yakni “Daya Tarik Tulisan”. Nanti akan dibahas dalam tulisan berikutnya

 http://www.parokiku.org/content/menulis-itu-gampang-rumus-5w-1-h


.
5W+1H
Suatu ketika aku iseng-iseng bertanya pada seorang wartawan yang sudah 20 tahun lebih menulis di sebuah koran besar, dan sering disebut sebagai wartawan senior.
“Apa yang dimaksud dengan nilai berita?” tanyaku.
“5W dan 1H,” jawabnya.
Aku kaget bukan kepalang. Karena, jawabannya salah.
5W+1H adalah unsur berita, bukan nilai berita. Sementara nilai berita adalah elemen-elemen yang membuat sebuah peristiwa atau percakapan layak disebut sebagai berita — hal ini akan kutulis pada kesempatan lain. Sekarang aku hanya ingin menulis soal unsur berita 5W+1H.
Itu adalah singkatan dari “what, who, when, where, why, how,” yang dalam bahasa Indonesia menjadi “apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, bagaimana.” Semua unsur inilah yang harus terkandung dalam sebuah artikel biasa atau berita biasa. Aku sengaja memakai istilah “artikel biasa” karena dalam karya tulis bentuk lain, seperti feature dan esai, tidak semua unsur 5W+1H harus dipenuhi.
Memasukkan keenam unsur ini ke dalam tulisan adalah mudah, sama saja ketika kita berbicara secara lisan dengan seseorang. Misalkan engkau baru tiba di kantor lalu bercerita pada rekanmu tentang kecelakaan yang kaulihat di jalan.
“Waduh, lo tahu nggak, tadi tuh, sekitar pukul 7 [KAPAN], dekat lampu merah Jalan SM Raja [DI MANA], ada kecelakaan langsung terjadi di depan mata gua. Satu mobil sedan nabrak motor [APA]. Sopirnya [SIAPA] nggak apa-apa, tapi yang punya motor [SIAPA] tewas di tempat. Yang salah sih si korban. Gua sempat lihat, dia nggak peduli lampu merah, malah dia tancap gas motornya. Nah, waktu menerobos lampu merah itu, mobil sedan dari arah kanan juga sedang kencang, dia ketabrak dan jatuh, kepalanya berdarah [BAGAIMANA]. Kasihan banget. Gua sempat berhentikan motor gua, lalu bantu geser motor korban. Nggak lama polisi datang. Menurut polisi, ternyata motor dia tuh lagi putus rem [MENGAPA]. Padahal tadi sempat gua kira dia sengaja ngebut.”
Cerita di atas sudah cukup jelas. Kawanmu pasti paham apa sebenarnya inti dari ceritamu. Tapi coba bayangkan apabila salah satu unsur cerita itu tidak kausebutkan, misalnya unsur DI MANA, pasti kawanmu akan bertanya-tanya, “Lo gimana sih, dari tadi asyik cerita tabrakan tapi nggak bilang di mana tempat kejadiannya.” [www.blogberita.com]

 http://luarsekolahbisa.com/2010/03/tehnik-menulis-berita-dengan-5w1h/

nukmanluthfie.com

Selasa, 03 April 2012

MENULIS TANPA BANYAK TEORI


Pada dasarnya menulis bukanlah suatu hal yang teoritis.  Tidak ada yang bisa membuat sebuah rumusan yang pasti mengenai formula penulisan naskah yang sukses, karena toh pemikiran manusia terus berkembang dan trend pun selalu berubah.  Tapi bagaimana pun, ada pola-pola tertentu yang dapat kita amati dari para penulis sukses dan insya Allah bisa kita manfaatkan dengan baik, asalkan kita benar-benar mau belajar.

(a) Membaca dulu, baru menulis.
Bagaimana pun, membaca harus didahulukan daripada menulis.  Tidak usah mimpi jadi penulis kawakan kalau belum jadi pembaca yang handal.  Membuat sebuah novel best seller dalam waktu kurang dari sebulan adalah omong kosong jika Anda tidak terbiasa melahap buku setebal itu dalam kurun waktu yang sama pula (bahkan seharusnya lebih cepat).  Koleksi di perpustakaan pribadi Anda adalah sumber referensi yang tidak ternilai harganya.  Selain itu, dengan banyak membaca, Anda bisa mengetahui sendiri (secara nalar) bagaimana formula membuat sebuah tulisan yang baik itu sebenarnya.  Anda tidak perlu diajari lagi bagaimana caranya menilai tulisan yang bagus dan yang kurang bagus, ‘kan?

(b) Buka mata, buka telinga.
Sumber inspirasi ada di mana-mana.  Bohong besar kalau ada yang berkata bahwa dirinya telah kehabisan inspirasi.  Yang benar adalah dirinya kehilangan minat untuk mencari inspirasi.  Naguib Mahfouz membuat sebuah novel yang amat menarik dengan menceritakan kisah golongan manusia yang paling tidak menarik : rakyat jelata.  Tidak perlu istana mewah untuk membuat pembaca tercengang.  Yang dibutuhkan adalah pencerita yang terampil.

(c) Sudut pandang adalah hak prerogatif penulis.
Untuk menjadi penulis yang canggih, Anda bahkan tidak wajib memunculkan sebuah tema baru yang seratus persen orisinil.  Anda bisa mengulas sebuah masalah yang sudah jutaan kali dibahas di berbagai media massa, tapi Anda bisa menceritakannya dari sudut pandang yang lain.  Misalnya kalau Anda sudah jenuh mendengar kisah tentang anak-anak yang membutuhkan kasih sayang orang tuanya, maka kali ini bahaslah kisah tentang orang tua yang haus perhatian dari anak-anaknya.  Kalau Anda sudah capek membaca artikel tentang bahaya merokok, kali ini buatlah artikel tentang cara-cara menegur orang yang merokok di tempat umum.  Tidak terlalu sulit, bukan?

(d) Bersikap kritis itu sehat.
Anda juga bisa mendapatkan banyak sekali inspirasi dari tulisan-tulisan orang lain.  Berkaitan dengan poin (a) sebelumnya, maka jika Anda banyak membaca, Anda akan semakin banyak mendapat inspirasi, karena semua karya manusia pastilah tidak bebas dari kritik.  Pasti ada saja kekurangan yang terlihat dari setiap karya tulis.  Nah, kalau Anda menjumpai ada sebuah tulisan yang terasa ‘kurang lengkap’, maka Anda kini memiliki kewajiban moral untuk menyajikan ‘pelengkapnya’.  Buat saja sebuah tulisan lagi yang memberikan pandangan lain tentang sebuah masalah yang sudah dibahas dalam sebuah buku lain.  Anda tidak perlu menghujat buku yang Anda anggap ‘kurang lengkap’ itu, tentu saja, karena saya yakin tulisan Anda pun (meski diniatkan sebagai ‘pelengkap’) masih saja belum sempurna.  Paling tidak, Anda sudah memenuhi kewajiban moral Anda untuk membagi ilmu.

(e) Penulis harus berani !
Jangan pernah melakukan sesuatu (atau tidak melakukan sesuatu) karena alasan takut, kecuali takut pada Allah SWT!  Taufiq Ismail dengan puisi ‘terang-benderangnya’ dan Sutardji Calzoum Bachri dengan ocehan-ocehan ‘mantra’ puitisnya ; keduanya berdiri pada kutub yang amat berlawanan.  Tapi ada satu persamaannya.  Sama-sama sukses!  Mereka tidak takut menggunakan gayanya masing-masing.  Semua penulis memiliki gayanya sendiri-sendiri.  Justru amat kelirulah kita bila memaksakan diri untuk meniru-niru gaya orang lain.  Hal ini justru akan membunuh kreatifitas.  Umat manusia ini diciptakan dalam keadaan yang berbeda-beda agar bisa bersinergi, saling menutup kekurangan masing-masing.  Ada sastrawan yang memang berbakat mengharu-birukan dunia kepenulisan dengan karya-karyanya yang serius, ada pula yang mahir menggaet pangsa pasar remaja dengan tulisan-tulisannya yang ringan dan gaul.  Hanya karena Anda kagum pada Helvy Tiana Rosa, bukan berarti Anda harus menjadi Helvy Tiana Rosa versi 2.0, ‘kan?

(f) Penyampaian pesan adalah inti dari segalanya.
Bagaimana pun caranya, pesan itu harus tersampaikan!  Pertama, Anda harus punya pesan yang kuat.  Kedua, Anda harus punya keinginan yang kuat untuk menyampaikan pesan tersebut.  Jangan setengah-setengah!  Paksalah seluruh dunia untuk mendengar!  Ketiga, lakukan segala cara yang Anda bisa agar pesan itu sampai ke tujuannya.  Tidak ada batasan mati antara prosa dan puisi.  Anda bisa menulis prosa dengan kecantikan ala puisi.  Anda juga bisa membuat puisi yang datar namun penuh informasi layaknya prosa.  Sebuah paragraf tidak mesti diisi dengan lebih dari satu kalimat.  Judul tidak harus singkat.  Akhir cerita bisa dibiarkan menggantung.  Tokoh utamanya boleh seorang pemabuk.  Lakukan apa yang harus Anda lakukan, agar pesan itu tersampaikan!

(g) Mengalir seperti air.
Biarkan tulisan Anda mengalir seperti aliran sungai yang terus mencari lautan.  Jangan pernah membunuh aliran itu.  Itu sama saja bunuh diri.  Sama saja seperti Ronaldinho menendang pohon kelapa dengan tulang kering.  Habislah sudah karirnya.  Susah payah membangunnya, tapi mudah saja meruntuhkannya.  Jangan percaya pada teori apa pun.  Biarkanlah mengalir.  Emosional itu bagus.

(h) Jangan banyak menunggu.
Memperbanyak referensi itu bagus, tapi terlalu banyak pertimbangan itu menyusahkan.  Apa harus menunggu sampai paham betul baru Anda berani menulis?  Apa Anda akan belajar teori-teori berenang yang baik dahulu baru mau menceburkan diri ke kolam renang?  Sebenarnya tidak ada penulis yang paham seratus persen tentang formula menulis yang baik.  Sapardi Djoko Damono, Putu Wijaya dan Asma Nadia pun masih belajar.  Jadi berapa ratus tahun lagi baru Anda memutuskan untuk menulis?  Sudah, mulai saja dari sekarang!  Tulis dan tulis terus!  Dalam waktu singkat Anda akan segera mengenali formula-formula yang sedang Anda cari itu dari kesalahan-kesalahan Anda sendiri.

(i) Anda tidak gila.
Saya yakin Anda tidak gila.  Kalau Hitler yang berpendapat bahwa ras Arya adalah rasa unggulan saja banyak pendukungnya, kenapa Anda tidak?  Saya percaya Anda tidak sebejat Hitler.  Jadi segeralah menulis, dan lihat sendiri kenyataan bahwa Anda tidak sendiri.  Anda memang tidak sendiri. 

Sudah mengerti?  Hah, belum??  Tidak apa-apa, nanti juga mengerti sendiri.  Yang penting, mulailah menulis.  Tidak usah banyak tanya, tidak perlu banyak mikir.  Cepat!  Saya tunggu, ya!

MENGAPA SAYA MENULIS


Mengapa saya menulis?

Tiba-tiba tertarik menuliskan ini setelah mengintip dan membaca obrolan sahabat Bloofers via chat fb. (berbakat spionase^^). Yah.., apa alasan saya sebenarnya hingga tertarik untuk menulis. Hm, setelah saya pikir-pikir tidak ada alasan khusus mengapa saya menulis. Dipikirkan sedalam apapun, saya hanya bisa sampai pada kesimpulan kalau saya menulis karena alasan yang sangat sederhana. Se-sederhana keinginan saya menjalani hidup yang apa adanya. Saya menulis, sekedar mengumpulkan remah-remah ide agar meletup dan tidak kadaluarsa. Rasa-rasanya tidak rela membiarkan parade ide berlalu begitu saja, pun berakhir di tempat sampah. Yah, karena ide adalah mukjizat. Yang karenanya manusia bisa merasakan hidup yang lebih bergairah bahkan bersemangat sepanjang hari. Bukankah hidup penuh semangat adalah hal yang paling menyenangkan. Coba bayangkan, membuat adrenalin terpacu sepanjang hari, berkompromi dengan motorik kepuasan, beh.., siapa yang tidak menginginkan itu. Dan lagi, dunia terlalu luas di hati saya untuk dibiarkan begitu saja. (Owuooo.. gaya bahasanya mulai aneh bin ajaib..).


Ada penulis, ada pembaca.. 
Lalu untuk siapa saya menulis??
Jawabannya singkat, bukan untuk siapa-siapa. Untuk saya yang liberal, menulis adalah kesenangan dan tidak boleh ada sesuatupun yang membuat saya berada di bawah tendensi saat menulis. Kepala saya terlalu berharga untuk diperbudak oleh tanggapan dan keinginan di luar sana. 
Saya tidak tahu banyak tentang dunia tulis - menulis. Semacam sihir, mendatangi begitu saja, suka begitu saja lalu menulis begitu saja. Mengakrabi tanpa punya pengetahuan khusus tentang itu. Mungkin ini alasan, mengapa tulisan saya tidak pernah benar-benar terkotak dengan jelas, atau lahir dengan jenis kelamin yang pasti, selalu ada heterogensi, selaput semi permiabel, tak pernah terklasifikasi. Yah, ide itu alien, aneh bin ajaib. Persis sebutan sahabat-sahabat saya pada kepala ini yang lebih sering kasmaran dengan pikirannya sendiri. Hahahhaha.. Ngomong apa saya.

Tentang Pembaca
Okelah, dalam ranah egoisitas, menulis memang berefek ganda. Memuaskan penulis atau memuaskan pembacanya. (Saya tidak sedang berbicara ranah abu-abu untuk memuaskan penulis dan pembaca di saat yang bersamaan). Tulisan bagi pembaca ada dua, yang menikmati alur ceritanya atau yang menikmati alur berpikir penulis. (Saya pernah membahas ini di multiply saya). Dan kebetulan, untuk hal ini, saya termasuk jenis kedua. Jenis yang selalu kasmaran dengan alur berpikir penulis yang juga berarti termasuk penulis yang menikmati alur berpikirnya sendiri.
Yapz, pembaca tetap penikmat, itu harga paten tidak ada nisbi. Tugas penulis membahasakan imaji. Nah, disini poin pentingnya. Saat penulis mempertimbangkan pembaca, itu berarti ia sudah berdamai dan teken kontrak untuk tidak akan bebas meng-explore isi kepalanya. Saya?? Tentu saja tidak rela. Harapan saya, dunia yang begitu luas di hati saya (lebhay MODE hONg… ^^) harus bebas lepas. Memuaskan pikiran dan menjadikan setiap centi kata dalam tulisan menjadi asset berharga alam bawah sadar, atau bahkan menjadikannya investasi berharga bagi dunia sastra. Wow…, saya bermimpi tentang ini. :D

Last but not a least..
Yah, saya menulis. Dengan keterbatasan ilmu dan pemahaman. Sayangnya, saya menggolongkan ini sebagai keterbatasan yang termaklumi. Karena kenapa? Karena saya penganut penulis “liberal”, acuh pada rule, buta pada norma. Asal memenuhi satu syarat “Bukan tulisannya yang liberal, mencekoki pikiran dengan hegemoni atau semacamnya”, bagi saya itu sudah lebih dari cukup. :D

Pict Source : Google
 Dikutip dari http://bumiaccilong.blogspot.com/2011/02/mengapa-aku-menulis.html